Mau tahu gak, apa salah satu penyesalan terbesar saya? Gak deal sama teman saya sejak dini. Deal apa tuh? Jadi di awal-awal karir, saya sempat mau daftar asuransi kesehatan, karena saya sadar diri gampang sakit. Apalagi semenjak saya diopname combo typus dan DBD, rasa-rasanya badan dan dompet ini butuh ada yang jaga. Waktu itu tabungan saya pun harus dikuras untuk 7 hari ‘staycation’ di rumah sakit. Kan lumayan ya uangnya buat tambahan resepsi pernikahan hehe..

Beberapa bulan kemudian, saya mengajak teman saya yang menjadi agen salah satu asuransi swasta terkenal di Indonesia. Sudah dijelaskan ini itu, dibuatkan simulasi dll. Waktu itu biaya yang saya pilih Rp. 350.000,- untuk 1 bed. Tapi saya pikir-pikir, kok lumayan ya Rp. 350.000 buat nabung ganti gadget atau liburan ke suatu tempat. Ya sudah, bye bye punya asuransi!
Repeat.
Kejadian terulang lagi.
Waktu anak kedua saya umur 1,5 tahun (Ya sekarang saya punya 3 anak 🙂 ), saya kena DBD lagi dan harus diopname 5 hari. Wah, harus kocek tabungan lagi. Memang sih akan diganti kantor dengan sistem reimburse, tapi tetap saja kita harus keluar duluan dan reimburse-nya pun tidak 100% (jadi ada plafon gitu). Belum lagi biaya pendamping pasien untuk makan yang harus keluar dari uang pribadi. Kan lumayan ya sehari 3 kali beli makan di luar, belum lagi kalau mau ngemil atau ngopi. Saat masih di bed rumah sakit, saya bertekad harus bikin asuransi sesegera mungkin!

Setelah sehat dan beraktivitas seperti biasanya, saya kelupaan menghubungi teman saya yang dulu pernah saya kontak. Sampai akhirnya ada teman jauh saya tiba-tiba kontak menawarkan asuransi berbasis syariah. Awalnya sih saya merasa “ah belum perlu”, “ah masih bisa reimburse ke kantor (meski tetap nombok selisihnya)”, dan alasan-alasan lainnya yang bikin saya cuma bilang “Ok, dipelajari dulu ya. Makasiyy”. Apakah benar saya langsung memelajarinya? Tentu tidak, Ferguso!
Butuh beberapa waktu hingga akhirnya saya sadar asuransi itu penting. Saat itu teman saya cerita kalau dia sakit keras dan butuh uang banyak untuk penyembuhannya, bahkan sampai menguras tabungan dan menjual mobil kesayangannya dan bolak-balik berobat pakai angkutan umum. Saya pun berpikir, wah bagaimana kalau saya di posisi dia? Saya punya anak-anak yang masa depannya tidak boleh terganggu dengan urusan kesehatan saya. Apalagi saya memiliki riwayat eklampsia (penyakit darah tinggi pada Ibu hamil) yang membuat saya hati-hati dengan kesehatan, karena berdasarkan informasiyang saya baca, Ibu hamil yang terkena eklampsia memiliki efek jangka panjang.
“Preeklampsia berhubungan dengan risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskular pada masa mendatang. Pasien dengan preeklampsia 3 kali lipat lebih berisiko mengalami hipertensi kronis daripada wanita tanpa preeklampsia. Risiko penyakit kardiovaskular dan stroke juga meningkat 2 kali lipat pada penderita preeklampsia.” Nah lho, berarti saya memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit – penyakit itu. (Amit-amit ya mudah-mudahan enggak sih), tapi apa salahnuya kalau saya proteksi diri dan keluarga dengan berasuransi.
Akhirnya saya mengontak teman saya untuk dibuatkan simulasi asuransi kesehatan dengan perusahaan asuransi yang sama ketika di awal karir saya, tapi yang ini versi syariah. You know what? Premi yang paling murah itu Rp. 500.000,- untuk 2 bed. Ah andai saja dulu saya making deal ketika saya masih single, muda dan badan bisa pakai ukuran S :D. Pasti bayar premi per bulannya juga tidak terlalu berat ketika kebutuhan juga meningkat.
Ya, itulah salah satu penyesalan saya. Jangan sampai kamu menyesal juga ya, pren!
